Kelompok inisiatif kolektif lifepatch dan kawan pustaha yang berdomisili di Yogyakarta mendapatkan kesempatan untuk residensi di kawasan tanah Batak (Sumatera Utara) dan Belanda. Di tengah perjalanan mendokumentasikan isi, fisik, pengguna, dan pembuat pustaha laklak, lifepatch dan kawan pustaha sadar bahwa memperluas jaringan dapat meringankan langkah dan kerja.

ARUSBALIK, mereka menyebutnya sebagai perjalanan ke tanah Batak untuk mengumpulkan data tentang pustaha laklak, dan juga sebagai ajang silaturahmi kepada tokoh adat, penggiat budaya, pembuat laklak, pengguna laklak, komunitas, lembaga, serta akademisi.

26 Mei 2023, perjalanan ARUSBALIK menginjakkan kaki di kota Tarutung yang disambut oleh Pusat Studi Seni Budaya dan Keagamaan IAKN Tarutung dengan mempersiapkan waktu dan tempat berdiskusi terkait topik pustaha laklak. Diskusi tersebut diberi nama Marpollung, yang dalam bahasa Batak artinya berkumpul untuk membicarakan sesuatu yang memiliki arti. Marpollung diadakan di halaman Pusat Studi Seni Budaya dan Keagamaan ditemani dengan makanan khas masyarakat Tarutung seperti kacang Sihobuk, lappet, dan tuak khas Silindung.

Saling lempar pendapat dengan berbagai dasar pemikiran pun terjadi ditengah diskusi, wacana pengembalian pusaka masyarakat batak yang disimpan di museum luar negri mendapat respon baik maupun penolakan. Dinamika diskusi semakin terarah dan tajam Ketika Mas Geger dari tim lifepatch mengutarakan ini pekerjaan berat yang harus dimulai dari sekarang sampai 40 bahkan 45 tahun lagi. Kata repatriasi pun terlontar sebagai cita-cita bersama terhadap pengembalian harta dan pusaka milik masyarakat Batak itu sendiri. Disisi lain Dian Purba yang seorang sejarawan meragukan kesiapan Masyarakat Batak, belum mampu menjaga benda-benda berharga tersebut jika di kembalikan ke Indonesia. Pada akhirnya arah diskusi mulai menemui titik terang ketika semua bersepakat, bahwa ini pekerjaan Bersama, dan perlunya membangun jaringan agar kerja ini terasa ringan dan semakin cepat mencapai tujuan mulia itu.

Diskusi ini berlangsung dengan intim. Peserta yang kurang lebih diikuti oleh 16 orang pada akhirnya menuliskan harapan-harapan terkait pustaha laklak di post card yang akan dibawa oleh tim lifepatch untuk disampaikan ke museum luar negeri.

Pusat Studi Seni Budaya dan Keagamaan IAKN Tarutung yang belum lama dibentuk pun berharap dapat membangun kerja-kerja kebudayaan seperti apa yang telah dilakukan oleh teman-teman diluar tanah Batak. “Kami sadar, kami masih sangat baru untuk menginisiasi budaya diskusi disini. Semoga dalam waktu dekat, program kami untuk meluncurkan buku budaya dan pariwisata segera terwujud dan diskusi rutin ‘Marpollung’ akan kita galakkan,” ucap Candra Siagian selaku sekertaris Pusat Studi Seni, Budaya dan Keagamaan IAKN Tarutung.